Rumah Jawa di Kalurahan Muntuk

Administrator 13 Juni 2021 19:51:20 WIB

Rumah Adat Jawa Tradisional adalah bagian hidup masyarakat Kalurahan Muntuk. Hal ini masih banyak kita jumpai hunian dengan berbagai model rumah jawa yang berusia puluhan hingga ratusan tahun. Selain digunakan untuk rumah singgah, ada beberapa Rumah Adat Jawa Tradisional yang didesain khusus sebagai tempat berteduh yang didirikan di area persawahan atau ladang. Rumah Adat Jawa Tradisional juga banyak didirikan sebagai tempat yang dikeramatkan, seperti petilasan makam. Rumah-rumah tersebut kebanyakan menggunakan model rumah panggangpe dan kampung. Sedangkan untuk tempat konsentrasi masyarakat, pendopo kalurahan, kantor padukuhan kebanyakan menggunakan rumah dengan model limasan dan joglo.

Melihat kenyataan yang ada di wilayah Kalurahan Muntuk tersebut, tentu tidak terlepas dari sejarah adanya Rumah Adat Jawa Tradisional di Kalurahan Muntuk. Dahulu kala, saat penduduk Kalurahan Muntuk masih sedikit, dimana mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai peladang dan pengrajin, mereka menggunakan Rumah Adat Jawa Tradisional dengan model yang sangat sederhana, atau disebut dengan rumah panggangpe dan kampung. Disebut rumah panggangpe karena rumah ini hanya terdiri dari 1 (satu) “tajug” atau atap yang seolah-olah seperti dipanggang dengan tumpuan beberapa pilar. Sedangkan disebut rumah kampung karena rumah ini terdiri dari 2 (dua) tajug yang dijadikan satu menjadi satu bubungan/molo.

Seiring berjalannya waktu dan sumber daya manusia (SDM) masyarakat yang semakin berkembang, maka munculah rumah model limasan. Rumah model limasan ini memiliki perpaduan 4 (empat) tajug sehingga rumah berbentuk limas ini mempunyai kontur konstruksi yang lebih kuat dibandingkan dengan rumah panggangpe dan kampung. Hadirnya rumah limasan ini kemudian difungsikan untuk ruang tamu, ruang tidur, ruang ibadah. Rumah model kampung dan panggangpe didirikan di samping atau belakang rumah limasan yang berfungsi untuk dapur, lumbung, kamar mandi.

Rumah joglo berasal dari kata “jogane loro” yang memiliki makna bahwa pada jaman dahulu, rumah ini memiliki 2 (dua) lantai dengan ketinggian yang tidak sama. Ada juga narasumber yang menyebutkan joglo berasal dari kata “tajug loro” karena mengacu pada bentuk atapnya, yang mengambil filosofis bentuk sebuah gunung atau yang diberi nama tajug. Tajug atau gunung tersebut kemudian berkembang menjadi atap joglo. Dalam kehidupan manusia Jawa, gunung sering dimaknai menjadi sebuah ide atau bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral.  Joglo yang berarti tajug loro tersebut mempunyai makna bahwa hidup di dunia ada dua unsur baku, seperti siang malam, baik buruk, dan lain sebagainya.

Lantai yang ada pada rumah joglo lebih tinggi daripada lantai di bawah pilar pengarak pada rumah joglo. Munculnya model rumah joglo ini di peradaban yang paling muda dibandingkan Rumah Adat Jawa Tradisional yang lain. Terdapat beberapa narasumber yang menyebutkan bahwa rumah joglo ada setelah berdirinya Masjid Demak, yang terinspirasi dengan desain masjid tersebut. Nama-nama pilar rumah joglo juga ada kesamaan  dengan nama pilar Masjid Demak.

Dilihat dari konstruksinya, rumah joglo merupakan perpaduan dari arsitektur model rumah panggangpe dan limasan sehingga menjadi rumah yang lebih sempurna konstruksinya dibandingkan dengan model rumah jawa yang lain. Rumah jawa dibuat dengan bahan material yang ramah lingkungan, di antaranya adalah kayu, bambu, glugu, genteng dari tanah liat. Bahan-bahan baku rumah jawa tersebut selain mudah didapat, juga mempunyai nilai artistik yang tinggi.

Pada saat proses pembuatan Rumah Adat Jawa Tradisional, menggunakan bahan yang ramah lingkungan, tukang kayu harus menguasai rumus-rumus ukuran kayu agar bentuk rumah yang dibangun sesuai dengan bentuk langgam dan estetika rumah jawa. Dalam mendirikan rumah tradisional, masyarakat Kalurahan Muntuk masih menggunakan nilai budaya lokal, di antaranya dengan sistem gotong royong atau yang biasa disebut “sambatan”. Tanpa terikat dengan sebuah aturan, warga secara sukarela membantu bukan hanya sekedar tenaga, tetapi juga dalam bentuk bahan pangan untuk acara mendirikan rumah tradisional tersebut.

Prosesi dalam mendirikan Rumah Adat Jawa Tradisional masih menggunakan adat dan tradisi yang secara turun-temurun masih terus dilestarikan dan dipercayai. Hitungan jawa masih digunakan untuk mencari hari yang baik dalam membangun Rumah Adat Jawa Tradisional. Terdapat hari-hari yang perlu dihindari untuk memulai pembangunan rumah jawa, di antaranya adalah hari wafatnya orang tua/mertua, hari keapesan/kelemahan yang mempunyai rumah atau biasa disebut dengan “kapat”. Ritual-ritual dilakukan selama prosesi mendirikan rumah hingga rumah tersebut siap untuk dihuni oleh pemiliknya. Acara-acara ritual tersebut di antaranya adalah “natah molo” atau “bubungan”, kenduri syukuran setelah rumah berdiri, “reresik pomahan”, dan “boyongan”. Adat dan tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun sejak nenek moyang.

Arsitektur dan gaya Rumah Adat Jawa Tradisional bersinergi dengan kebudayaan masyarakat Kalurahan Muntuk itu sendiri. Contohnya yaitu pekarangan rumah diberi pagar yang rendah atau sama sekali tidak diberi pagar. Hal ini mengandung makna bahwa manusia tidak hidup secara individu tetapi manusia sebagai makhluk sosial butuh berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama.

Konstruksi lantai rumah dibuat dengan ketinggian yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk pembelajaran etika, contohnya orang yang lebih tua duduk di lantai yang lebih tinggi, sedangkan orang yang lebih muda duduk di lantai yang lebih rendah. Hal seperti ini sering dijumpai di acara-acara pertemuan, pengajian, dan kegiatan masyarakat lainnya.

Dinding rumah dibuat dari gebyok kayu dan pintu masuk didesain sedikit lebih rendah sehingga orang yang akan masuk ke rumah harus sedikit menundukkan kepalanya. Ini mengandung makna bahwa orang harus saling menghormati.

Selain arsitektur lokal Rumah Adat Jawa Tradisional yang dibuat sedemikian rupa, untuk menunjang budaya masyarakat nama-nama komponen Rumah Adat Jawa Tradisional sangat mengandung arti yang mendalam. Beberapa makna komponen Rumah Adat Jawa Tradisional adalah sebagai berikut.

  1. “Umpak” terbuat dari batu yang keras dan berbentuk persegi panjang dengan makna fisolofi bahwa dalam hidup manusia selalu ditemani oleh empat saudara, yaitu “kakang kawah” yang artinya ketuban, “adhi ari-ari” atau disebut plasenta, darah, dan tali pusar. Orang Jawa mempercayai bahwa keempat saudara tersebut yang akan menjadi pembimbing pada diri manusia sehingga akan membentuk karakter kepribadian yang kuat.
  2. Saka Gurunama tersebut terinspirasi dari nama pilar Masjid Demak warisan Wali Sanga. Soko guru yang berjumlah empat menandakan pusaran energi yang berasal dari keempat penjuru arah mata angin, yang disebut “pajupat”. Pajupat yaitu “kiblat papat” dan “pancernya” yang berada diantara keempat saka tersebut atau diartikan lagi berada diri pribadi manusia.
  3. Sunduk adalah kayu pengikat yang mempunyai makna bahwa hidup harus dijaga persatuan dan kesatuan dalam keanekaragaman agama dan budayanya.
  4. Kopyah atau topi sebagai simbol sebuah jabatan atau kewibawaan. Seorang pemimpin harus menjaga amanah agar kewibawaannya tetap terjaga.
  5. Tumpang mengandung makna bahwa manusia hidup di dunia ini hanya menumpang sesaat dan harus mengingat hidup yang akan datang itu lebih kekal.
  6. Penadah mengandung makna sebuah permintaan bahwa segala usaha harus didasari dengan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penadah dari kata “tadah” yang artinya “sumeleh”. Arti kata ini mengandung makna bahwa manusia  menyadari ia hanya bisa berencana, namun Tuhan yang akan menentukan berhasil atau tidaknya rencana manusia tersebut. Sebagai makhluk Tuhan, manusia harus bersyukur atas segala pemberian-Nya.
  7. Takir berasal dari kata “nata” dan “mikir” atau menata dan berfikir. Takir mempunyai makna bahwa dalam kehidupan selanjutnya harus mempertimbangkan dan menata setiap langkah yang diambil dengan pemikiran yang tenang, seksama, dan mendalam agar mendapatkan hasil yang terbaik.
  8. Panitis dari kata “titis” yang artinya tepat. Panitis mengandung makna bahwa setiap melakukan sesuatu harus penuh perhitungan serta pertimbangan yang matang juga diperlukan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam segala hal.
  9. Dudur yang berasal dari kata “diadu” dan “mundur” yang artinya bahwa untuk meniti kehidupan yang baik harus mengevaluasi segala sesuatu yang pernah dilakukan. Untuk mencapai sebuah keberhasilan harus mempelajari penyebab sebuah kegagalan.
  10. Suwunan/molo, yang berarti “panyuwunan” atau permintaan. Suwunan merupakan kayu yang menghubungkan dua sajuk sehingga meruncing ke atas. Bagian rumah adat yang satu ini berbeda dengan bagian lainnya. Pengerjaan bagian suwunan/molo memakai hari yang baik menurut hitungan kalender Jawa dan dilakukan dengan adat tradisi “natah molo”. Sebelum dimulai pekerjaan “natah molo”, tukang kayu harus mensucikan badannya dengan wudhu, dilengkapi dengan beberapa ubo rampe. Tukang kayu harus meminta izin terlebih dahulu kepada para empu (pandai besi) dan memanjatkan do’a keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suwunan mengandung makna bahwa semua rangkaian kehidupan manusia berpusat menjadi satu titik dan satu tujuan untuk menyembah dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Komentar atas Rumah Jawa di Kalurahan Muntuk

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License