Sendang Sinongko
Administrator 13 Juni 2021 11:34:22 WIB
Sejarah
Pada suatu masa hiduplah seorang bijaksana bernama Ki Tunjung Anom, satu masa dengan Ki Ageng Giring. Ki Tunjung Anom tinggal di dekat sebuah sumber air yang dikenal sekarang sebagai Sendang Sinongko. Begitu kuat pengaruh kebijaksanaannya sehingga banyak orang-orang penting yang datang berguru pada beliau.
Pada masa muda, Raden Rangsang dalam laku “Jajah Desa Milang Kori” juga sampai di Sendang Sinongko, untuk napak tilas dan ngudi kawruh ajaran dari Ki Tunjung Anom. Setelah Raden Rangsang menjadi Raja Mataram, ia bergelar Sultan Agung, dimana saat itu mulai masuk VOC dan Sultan Agung menjadi orang pertama di Nusantara yang menggelorakan menolak VOC di bumi Jawa. Kisah tentang Ki Tunjung Anom tidak banyak diceritakan, semua pikiran terpusat pada perlawanan menghadapi VOC di Batavia.
Satu masa setelah Sultan Agung mangkat, kemudian digantikan penerusnya yaitu Sultan Amangkurat Agung. Pada masa kepemimpinannya, mulai ada kisah yang cukup kuat mengakar di masyarakat Padukuhan Tangkil, yaitu seorang tokoh bernama Ki Honggo Wongso.
Berangkat dari dua orang algojo Kraton Mataram yang menyingkir dari pusat ibu kota bernama Saga Suranata dan Songkel Reksadana yang tetirah di petilasan Ki Tunjung Anom (Sendang Sinongko), beberapa waktu kemudian disusul sebuah keluarga yang dikenal oleh warga bernama Ki Honggo Wongso bersama istrinya Nyi Honggo Wongso, anak perempuanya Siti Sendari, dan Raden Bagus Kuncung anak laki-lakinya. Keluarga ini diyakini menyingkir dari hiruk-pikuk kehidupan di Ibu Kota Mataram dan memilih hidup damai di dekat Sendang Sinongko yang kemudian menjadi sebuah Padukuhan yang bernama Padukuhan Tangkil.
Kebiasaan hidup di ibu kota membuat keluarga tersebut tidak mempunyai kemampuan bertani, terlebih saat itu daerah Pedukuhan Tangkil masih tandus dan dipenuhi tumbuhan ilalang, hanya sekitar sendang yang berada di lembah yang terdapat pepohonan. Di sebelah timur terdapat banyak pepohonan, maka di situlah dimanfaatkan sebagai tempat tinggal yang sampai saat ini disebut sebagai nDeso. Di sisi utara Sendang Sinongko terdapat hutan bambu yang didominasi bambu Petung, saat ini daerah tersebut dikenal sebagai daerah yang bernama Petung.
Ketidakmampuan bertani tersebut membuat Ki Honggo Wongso memeras akal untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan bambu yang hidup di sekitar sendang. Ki Honggo Wongso membuat anyaman yang berfungsi untuk memeras kelapa yang kita kenal saat ini sebagai KALO, nama Kalo berasal dari jarwo dosok “AKALE LHO. Inilah yang kemudian menjadi asal mula Kerajinan Bambu di Pedukuhan Tangkil. Saat ini 90% penduduk Kalurahan Muntuk berprofesi sebagai pengrajin bambu.
Nyi Honggo Wongso juga memanfaatkan Bambu Muda atau yang biasa disebut bung. Bung dijadikan bahan dasar untuk membuat sayur lodeh bung yang saat ini menjadi sayur utama warga masyarakat Pedukuhan Tangkil untuk bertahan hidup.
Putrinya, Siti Sendari, membangun kehidupan di Trukan Wetan yang saat ini bernama Cangkring, sebuah wilayah di sisi timur Pedukuhan Tangkil. Putranya Raden Bagus Kuncung, membangun kehidupan di Trukan Kidul yang saat ini dikenal sebagai Pedukuhan Karangasem.
Pada masa Perang Diponegoro, setelah peristiwa pematokan tanah Pangeran Diponegoro menjadi jalur kereta api, para Prajurit pengikut Pangeran Diponegoro mencabut pathot-pathok yang ditancapkan Belanda. Tersebut dua nama di antara prajurit tersebut, satu bernama Ki Sura Yuda dan sahabat seperguruan bernama Ki Krama Setika. Mereka berdua ditangkap Belanda dan dipenjara. Ki Krama Setika adalah penduduk asli Pedukuhan Tangkil. Setelah melarikan diri dari penjara, Ki Sura Yuda ikut pulang Ki Krama Setika ke Pedukuhan Tangkil. Dari situlah kemudian Sendang Sinongko juga disebut sebagai Sendang Sura Yuda.
Sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, Ki Sura Yuda sangat taat beribadah, namun di pedukuhan Tangkil belum ada tempat beribadah, maka Ki Sura Yuda sering melakukan sholat di sebuah batu di dekat Sendang Sinongko. Batu yang sering digunakan untuk sholat ini kemudian oleh masyarakat dikenal sebagai batu sajadah. Dari situlah generasi berikutnya, Kyai Amat Monawi, Kyai Arjo Setomo, Kyai Amad Marjuki, Kyai Amad Usman, Kyai Amad Jupri, Kyai Pawira Sentana, Muhhamad Ummar, Kyai Darmorejo, Kayi Jokartono, Kyai Pawira Suhud, Kyai Wiryo Dimbejo, Kyai Merta Setomo, Kyai Arjo Sentana, dan Kyai Amad Raji berinisiasi membangun Masjid di dekat Sendang Sinongko yang dinamakan Masjid Sendang Rejo.
Pada masa generasi berikutnya, putra dari Kyai Amad Monawi yaitu Kyai Amad Rukimin merubah nama masjid tersebut menjadi Masjid Baitul Muttaqin, seperti yang dikenal masyarakat sampai saat ini.
Keyakinan Masyarakat
Masyarakat Pedukuhan Tangkil dan Pedukuhan Karangasem memiliki keyakinan bahwa air Sendang Sinongko memiliki berkah khusus sehingga setiap mengadakan hajatan masyarakat harus mengambil air sendang untuk memasak. Jika tidak dilaksanakan, masyarakat meyakini bahwa masakannya tidak akan masak.
Hingga saat ini, perempuan yang sedang datang bulan pantang mandi di Sendang Sinongko, hal buruk diyakini bisa terjadi jika melanggar hal tersebut.
Adat Tradisi
Setiap sekali dalam setahun setelah masa panen, diadakan rangkaian kegiatan adat tradisi di Sendang Sinongko. Rangkaian acara dimulai pada hari Rabu Kliwon pagi dengan diadakannya acara Kenduri di Padukuhan Tangkil dilanjutkan pertunjukan Jathilan di Sendang Sinongko dan dilanjutkan pertunjukan Tayub malam harinya yang sudah masuk pada hari Kamis Legi.
Tradisi tersebut masih dilakukan hingga tahun 1976, namun setelahnya Pertunjukan Tayub perlahan ditiadakan seiring pengaruh agama Islam. Hanya pertunjukan Jathilan yang masih berlanjut hingga saat ini.
Untuk melestarikan adat dan tradisi tersebut, masyarakat Padukuhan Karangasem mulai tahun 2008 mengadakan Pertunjukan Tari Tayub setiap tahun pada acara Majemuk Merti Dusun. Namun, pada tahun 2020 dan 2021 kegiatan ini ditiadakan karena pandemi Covid-19.
Pengelola Sendang Sinongko
Pengelola Sendang Sinongko adalah sebagai berikut.
JURU KUNCI SENDANG SINONGKO
- Amad Monawi ( Almarhum )
- Kardi Wiyono
- Ustad Hasyim
- Tukimin Bin Amad Monawi
- Dalduri Bin Noto Suwita
KEBERSIHAN SENDANG
- Dolahyadi ( Almarhum )
- Jokartono ( Almarhm )
- Yatmorejo ( Almarhum )
- Nyai Amad Usman (Mbah Kembar) ( Almarhum)
- Saminah Amad Dasuki ( Almarhum )
- Noto Suwita
- Gimo Bin Kayi Jokartono
- Wakijan Bin Noto Suwita
- Marsidi Bin Dolah Yadi
- Damiri Bin Mangun Dimbejo
- Giyono Bin Yatmorejo
- Amad Miskan
- Sugiyo
- Tukiman
- Rubiyo Binti Painem
PENGEMBANGAN
- Sudarman,S.E.
- Supriyadi, S.IP.
- Sarbini
- Muryadi
- Leo Galih Satriawan S.Sn.
- Marsudin
- Sumarman
- Wagiyo
- Asnawi
- Riyanto
Komentar atas Sendang Sinongko
Formulir Penulisan Komentar
Upacara Peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2022 Di Kal. Muntuk
Syarat KIA atau KTP Anak
Pengumuman
Kalender
Tautan
Jogja Istimewa
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Jumlah Pengunjung |
- MERTI DUSUN SANGGRAHAN 1
- Pengumuman
- Musyawarah Padukuhan / Jaring Aspirasi BAMUSKAL ( Badan Musyawarah Kalurahan ) MUNTUK TAHUN 2024
- Pengukuhan Ketua RT Se Kalurahan Muntuk Oleh Bapak Lurah Marsudi
- Kalurahan Muntuk Salurkan Bantuan Beras BCP Tahap IV
- Bapak Marsudi Lurah Muntuk Hadiri Kenduri Merti Dusun Gunung Cilik
- Lomba Memasak PKK Kalurahan Muntuk
Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License